Blog
SUMUA SAMA SAJA
- Maret 23, 2022
- Posted by: admin
- Category: Cerpen
“ Seru kali ya, jika dulu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan di kampus impian ku” gumamku ketika melihat instastory teman-teman dengan ria memakai almamater biru tuanya.
karena kesal melihat seisi media sosial dihiasi dengan teman-teman lama yang bersuka cita atas almamaater di kampus impiannya masing-masing, akupun bergegas untuk menutup telepon genggamku
ceritanya, pada saat aku kelas 3 SMA sudah di ujung tanduk untuk melangkah meninggalkan sekolah tercinta, aku mengikuti seleksi untuk masuk kampus impianku ,di iringi jurusan yang aku minati.
Sebenernya tidak ada yang namanya berharap lebih untuk di terima. Rumah ku pesisir sebrang pulau yang mungkin untuk di tempuh pun harus menggunakan kapal, dengan waktu yang lama.
Singkat nya, aku di nyatakan lolos di kampus impianku, pada saat itu sudah hari terakhir untuk registrasi, perjalanan dari rumahku ke kampus impian tersebut membutuhkan waktu yang panjang untuk sampai.
“maaf mas, sesi registrasinya sudah kami tutup kemaren siang” ucap petugas penerimaan mahasiswa baru di kampus tersebut.
Berjalan menyusuri kota, dan akupun masuk kampus yang secara level sangat di bawah kampus impianku.
di kamar kos berukuran 4×4 itu, aku menatap langit-langit sembari memikirkan kebencianku akan alur hidup yang sangat tidak sesuai dengan mimpiku. Selang beberapa menit telepon genggamku berdering keras dengan nada yang menenangkan. Nama Ibu tertulis besar di layar telepon ku.
“assalamualaikum” ucap ibu di seberang sana.
”gimana kabar anak ibu ? sudah mulai betah di rantauannya ?”
Seperti peramal yang bisa membaca pikiranku saja, ibu slalu meneleponku di saat yang tepat.
“waalaikumsalam. Ya begitulah, bu. masih belum ikhlas akan kesempatan yang pernah ku sia-siakan di kampus impianku.”
“ah, sudah ibu duga akan mikir kayak gini” ada sebuah kehangatan dari setiap kata yang ibu ucapkan, suara yang ku rindukan yang sering memaksaku makan pada pagi hari dulu.
“kalaupun mau ikut seleksi lagi, boleh-boleh saja kok coba tahun depan. Tapi yang ibu mau kamu tau ; tidak ada yang namanya kampus itu bagus atau jelek, semua sama saja, nak. Jadi lulusan manapun selama kamu ikhlas menjalaninya pasti ada jalan baru yang terbuka buat kamu, dari yang namanya penglaman, relasi, dan lainnya, pasti kamu dapatkan disana.
Aku menghela napas panjang ketika mendengan wejangan ibu, sebenernya akupun paham di manapun tempatnya itu sama saja, kembali pada siapa yang menjalaninya. Tetapi tidakkah akan lebih menyenangkan rasanya untuk berkuliah di kampus impian bukan.
“ ibu akan selalu mendukung kok apapun jalan yang kamu pilih, kamu laki-laki dengan umur yang sekian sudah dewasa sudah sewajarnya bisa dalam hal penentuan, tapi jangan sampai kamu hilang semangat hanya karena ada beberapaa bahkan hanya satu dua mimpi yang tidak bisa kamu wujudkan, akan ada banyak mimpi yang lain dan bisa kamu wujudkan, ibu percaya kamu akan banyak belajar di tanah rantaumu tidak hanya belajar tentang pendidikan. Dan menurut ibu kamu sudah lebih dari hebat, sudah bisa bertahan lama di perantauan bisa memilih jalan nya sendiri meski ada beberapa hal yang mengecewakan, itu biasa jadikan pelajaran”
”jangan se-sekali berpikir orang-orang besar karena kampusnya, tetapi kampus besar karena orang-orang nya, dan ibu yakin kamu akan menjadi salah satunya” ucap ibu sembari mengakhiri percakapannya di telepon.
Malam itu, ibu berhasil menenangkanku dengan beberaapa nasehatnya. Toh ucapan ibu memang benar, meskipun aku harus mengubur dalam-dalam untuk berkuliah di kampus impian.
Setidaknya jalan yang lain sudah terbuka untukku saat ini. Mungkin saja, setelah ini akan ada banyak jalan bahkan mimpi yang terbuka untuk ku
Penulis : sufyanwahyudi