“Karena, jarak sejauh apapun, dengan percaya yang dipeluk, hanya akan menambah rindu.

Bukan rasa bosan karena jarang bertemu.”


“Aku sudah bilang, kita punya kesibukan. Banyak yang harus dilakukan, akan sangat sedikit pertemuan kita. Dan kau tahu? Banyak pasangan yang gagal karena jarang berjumpa.” Dia terlihat frustrasi, bingung harus menjelaskan apa lagi. 


“Tapi zaman semakin maju Raja, sungguh. Kita bisa berkomunikasi jarak jauh, tak perlu setiap jam memberi tahu, cukup sekali dalam sehari kau dan aku memberi kabar, itu sudah cukup.” Aku berusaha mempertahankan pendapat ku. “Apalagi kita berpisah karena mengejar mimpi masing-masing, pasti akan ada jalan baik, kita bisa melewatinya bersama. Apa kau tidak percaya padaku?” Aku menghela nafas, sedikit tersulut emosi. 


Dia diam, menatapku lamat-lamat. 


Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, bagaimana bisa kalimat itu keluar dari mulutnya. Kenapa dia bisa memikirkan hal seperti itu, bahkan aku saja tetap merasa tenang, berpikir sejauh apa pun jarak yang terbentang, jika aku dan dia bisa saling percaya, tak akan ada masalah.


Aku dan dia sudah lama mengenal, sudah enam tahun lamanya. Dari sejak masuk SMP, pertama kali dia menyapa “Apa kau suka tidur di kelas seperti ini?”, mulai dari situ kita dekat, mengikis jarak. Berbicara hal-hal tak jelas, tertawa, sedikit demi sedikit saling mengerti, satu frekuensi. Berbagi cerita, mimpi-mimpi indah kedepannya. 


“Aku ingin melanjutkan kuliahku di luar negeri Clara, pasti akan sangat menyenangkan. Bertemu orang-orang baru, melihat kebudayaan dan cara hidup baru, bukankah begitu?” matanya tertutup, mengkhayalkan dirinya yang sudah terbang ke luar negeri.


“Tentu saja, akan sangat menyenangkan Raja. Kau bisa mencicipi makanan khas disana. Kau suka makan kan?” Aku tertawa geli, teringat dia yang suka sekali makan. Dia membuka cepat matanya, langsung melayangkan pukulan. Tenang saja, dia tidak benar-benar memukul, itu hanya bercanda. 


Begitulah dia, amat menyebalkan memang, sering mengacak-acak tatanan rambutku, menjaili, dan semua kelakuan yang membuat emosi. Tapi salah satu yang membuatku bertahan dengannya, dia tak pernah memarahiku, apalagi sampai main tangan. Dia tak pernah memukulku kencang, bahkan saat aku yang salah sekali pun, dia tetap tidak marah. Paling dia akan pergi, menyendiri, lantas aku menunggu hingga amarahnya reda, dan dia akan kembali menggandeng tanganku, tersenyum santai “Aku tidak marah, hanya sedang berpikir bagaimana caramu berdandan, kenapa begitu lama? Sampai kau datang selalu terburu-buru, terlalu mepet dengan bel sekolah.” 


Tiga tahun tak terasa, masa SMP benar-benar penuh suka duka. Banyak kisah yang terlewati bersamanya, mungkin lebih tepatnya, semua cerita yang terangkai, selalu ada dia di sudut satunya, menjadi pemeran kedua. Entah bagaimana, aku dan dia jauh-jauh hari sudah bicara, akan ke mana melanjutkan sekolah. Sepertinya karena kita sudah satu pemikiran, maka aku dan dia memilih SMA yang sama.


“Jujur saja, sebenarnya aku amat kesal. Kenapa kau memilih SMA yang sama denganku? Apa kau tidak ingin jauh-jauh dari Raja yang baik ini?” dia memperlihatkan ekspresi membanggakan diri.


“Kupikir, kau yang mengikutiku” aku memberengut, kesal.


Sesuai rencana, aku dan dia masuk di SMA yang sama. Bedanya, kita semakin terlihat dekat.  Aku juga sudah tidak malu menangis di depannya, bercerita tentang beban kehidupan. 


Tentang hubungan, di tahun kedua SMA, aku dan dia sama-sama terbuka, memastikan perasaan yang ada.


“Clara, apa kau merasakan hal yang berbeda saat bersamaku? Maaf, aku bukannya ingin menghancurkan pertemanan kita hanya karena tumbuhnya perasaan yang salah. Tapi aku juga tidak bisa diam, Clara. Aku ingin mengungkapkannya. Aku ingin tahu, apa perasaanku ini terbalas, atau hanya aku yang mempunyainya.” dia terlihat gugup, bingung merangkai kata yang pas. 


“Entah sejak kapan, tapi aku baru menyadarinya, aku senang saat bersamamu, cemas saat kau tak ada kabar, takut saat kau tiba-tiba sakit, khawatir melihatmu berada dalam bahaya, dan yang paling tak aku suka saat kau bersama lelaki lain, itu amat membuatku marah.” Matanya sedikit berkilat, amarah terlihat dalam tatapannya.


“Aku menyukaimu Clara, itu yang aku rasakan. Kau tak perlu membalasnya, kau juga tak perlu canggung denganku. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa yang selama ini aku punya, kau tak perlu merasa terbebani. Kita akan tetap dekat, dengan ada atau tidaknya ikatan.” Dia tersenyum tulus.


Tak ada satu pun kata yang ku ucap, aku hanya berlari memeluknya, menangis. Mengangguk dalam dekapannya. Dia balik memeluk, menyisir halus rambutku. Aku tidak tahu hubungan apa yang aku dan dia punya, tapi disini aku merasa lega. Sudah saling mengungkapkan apa yang dirasakan. 


Ya, itu satu tahun yang lalu. Dan sekarang, di hari wisuda. Tepat satu tahun dia mengungkapkan perasaannya, dia meminta selesai.


Kemarin malam dia mendapat kabar, kalau dia diterima di universitas impiannya, di luar negeri. Setelah mendapat informasi itu, dia langsung meneleponku, berteriak, menangis bahagia, “Clara, aku berhasil. Aku bisa menggapai mimpiku, Clara. Aku berhasil.” Teriaknya sambil menangis.


Aku mengucapkan selamat, bilang banyak hal yang perlu dia siapkan. Memberi peringatan, dia harus hati-hati dan menjaga diri di negeri orang.


Tapi semuanya berubah siang ini. Baru saja selesai acara wisuda, dia langsung menarik tanganku, bilang ada hal penting yang perlu dibicarakan. Aku tidak tahu dia terkantuk apa malam itu, sampai bisa berpikir hal gila ini.


“Aku ingin kita selesai, Clara. Aku minta maaf kalau kau terkejut karena ini tiba-tiba. Aku sudah memikirkannya, dan ini keputusan terbaik. Aku tidak ingin membuatmu menunggu Clara, itu akan sangat menyakitimu.” dia menunduk.


Aku mematung, tak menyangka dia akan mengucapkan kalimat itu. Kepalaku berusaha berpikir cepat, mencari akar masalah. Hingga beberapa saat, aku mengerti apa yang dia bicarakan.


“Kau sungguh tak mempercayaiku Raja? Kau takut aku disini tak bisa menjaga hati? Kau takut aku mempermainkanmu disini? Apa kau tak percaya dengan ketulusanku?” aku bertanya, sesak di dada tak bisa aku tahan.


“Bukan begitu Clara, aku percaya denganmu. Aku takut, aku tak bisa membahagiakanmu lagi, aku takut kau merasa sepi disini, dengan menunggu aku yang jauh, aku takut kau hanya menggenggam harapan palsu. Aku tak bisa selalu disampingmu.” dia menatapku pilu.


“Apa kau ingin berpisah denganku Raja?” aku kembali bertanya.

“Kau pikir aku ingin? Tentu tidak Clara.” Tutur katanya terdengar pasrah.

“Aku tahu, banyak kisah yang gagal karena jarak. Kalau begitu, kita buat cerita yang jarang terjadi, cerita dimana kita berhasil melewati jarak fisik yang terlihat. Dengan sama-sama saling percaya, saling menggenggam harapan, kita bisa melewatinya. Kita buat cerita yang jarang di dengar, di mana kita bisa tetap bersatu, walaupun jarang bertemu. Kita buktikan pada semua orang, bahwa jarak sejauh apa pun, tak akan terlihat jika pasangannya saling percaya” aku tersenyum, memberi aliran positif.


Dia diam, menatapku. Mencerna apa yang ku katakan. Beberapa saat, dia tetap diam. Tapi tatapannya kini kembali lembut, kembali memegang harapan baru. Tanpa sepatah kata, dia memelukku, erat. Tangisnya tak terdengar, hanya terasa ada air mata yang jatuh ke pundakku. Terasa samar, ia mengangguk. Memelukku lebih erat. Aku balas memeluk, mengusap lembut punggungnya.


Jika jarak yang terbentang membuat hatimu tak tenang,

Lantas, percaya apa yang kau pegang?

Ia bilang akan menjaga perasaannya hingga kau pulang,

Lalu, apa lagi yang membuat dirimu seperti terkekang?


Jarak sejauh apa pun, 

Kita yang saling percaya,

Tak akan merasa takut,

Karena janji yang aku genggam, lebih kuat dari yang kau bayangkan



Karya: GreenDwi