Blog
MAAF
- April 2, 2022
- Posted by: admin
- Category: Cerpen
“tahun ini pulang yah nak” seruan seorang Ibu di seberang sana, yang sudah jelas maksud kerinduannya.
Sudah tahun ke empat, aku tak bisa berkumpul untuk menyambut bulan Ramadhan bersama seorang Ibu, pada dasar nya seorang Mahasiswa pun akan kembali ke halaman rumahnya masing-masing, melepas masa rantau nya meski bersifat sementara tapi paling tidak sempat untuk berkumpul, tapi beda dengan ku, masih banyak hal yang memang harus di selesaikan
Tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya memang tidak pernah merasakann kebersamaan itu, ibu yang memang membanting tulang di negeri orang, setelah sebuah perpisahan keluarga, ibu memutuskan untuk pulang ke kampung halaman membawa ketidak utuhan bagaimana layaknya sebuah keluarga di luar sana
Dengan kerinduan yang sudah terpendam puluhan tahun itu sampai sekarang masih tak bisa ku luapkan kepada seorang ibu.
“maaf bu, mungkin tahun depan yah” jawabku atas pertanyaan yang memang sulit ku jawab
“iya gapapa nak, hati-hati di sana yah” dengan kelembutannya yang aku dengan melalui telepon genggam
Aku yakin ibu pun paham banyak nya sebuah tugas yang harus aku tanggung di perantauan ini
“Semangat yah, ibu tahu kamu sibuk pastian denga segala kegiatan yang di amanahkan, jangan sesekali anggap hal itu sebuah beban, jalani dan nikmati dan jangan pernah berharap keuntungan karna semua akan terjawab di masa akan datang” aku pun diam tanpa kata hanya bisa mendengan dengan hati yang sangat rindu akan sebuah pertemuan
“ibu ingat terakhir kita berkumpul saat kamu masih smp nak, itu pun dengan keluarga yang utuh bahkan ketiadaan sanggup kita hadapin bareng-baareng, saat smp pun kamu adalah anak yang memang aktif berperan di manapun kegiatan sekolah ataupun tidak ibu lihat kamulah sosok unggul yang ibu lihat,sampai saat ini pun pencapaian yang kamu raih udah luar biasa, tetapi jangan sesekali hal itu di jadikan alasan untuk sebuah kesombongan, ibu percaya kamu adalah anak yang rendah hati” tak terasa air mata menetes seketika di tengah-tengah ujaran yang ibuk sampai kan, nasihat-nasihat yang tak sekalipun salah pada tiap ujarannya
“maaf yah nak, ibuk tahu kamu sudah dewasa, kamu pasti paham baik dan buruk nya sesuatu. Tapi bagi ibuk kamu tetap layaknya anak kecil yang masih ingin ibuk gendong, ngompol pada saat ibuk pangku” sekali lagi buk berujar sebelum diam dengan waktu yang lama
”iya buk, insyaAllah tahun besok aku pulang yah buk, ibuk jangan sampai telat makanm aku disini pasti bangun tepat waktu untuk sahur buk, tidak usah khawatirin aku, aku bisa jaga diri “ dengan kebingungan entah mau menjawab apa untuk menanggapi ujaran-ujaran yang di sampaikan ibu
“iya udah nak ibuk mau masak dulu buat adekmu yah” tanpa ku jawab ibu langsung memutus sambungan telepon nya dengan ku.
Di pojok pinggiran kota, kamar kosan yang tak begitu besar aku behuni, menatap sebuah lkisan yang pernah kulukis sendiri tentang keutuhan keluarga dan pertemuah yang menjadi sebuah dambaan. Merenung tak dapat ku hindari, memikirkan segala cara agar bisa bertemu, agar bisa pulang
Tapi lagi-lagi tertampar oleh kenyataan yang menyuruhku untuk tetap di perantauan menyelesaikan dan menemukan makna dari kata proses yang saat ini ku tanggung.
Sekali lagi Maaf ibu, Mungkin tahun depan aku pulang yahh