Penulis: Abil.na
“Kamu mendekat ataupun menjauh, itu tidak akan mengubah fakta bahwa kamu sudah masuk ke hatiku. Tak bisa ku kendalikan dan tak bisa kau kendalikan. Ia seperti pengurangan, yang hasilnya akan menyisakan kamu seorang.”
“Ternyata sakit ya, dicuekin sama orang yang kita sayang.” Ucap Reza yang berdiri dibelakang Nata.
“Biarin aku tenang dulu, Za.” Balas Nata.
“Tapi aku kalo dicuekin terus sakit, Nat.”
Nata membalikkan badannya untuk menghadap kearah Reza. “Sama. Kemarin aku juga sakit, waktu kamu lebih milih organisasi daripada aku.” Ucap Nata sembari tersenyum hambar.
“Tapi Nat, seenggaknya jangan cuekin aku. Aku udah minta maaf.”
“Udah aku maafin, aku cuma butuh waktu untuk berdamai.” Ucap Nata lirih, lalu berlalu dari hadapan Reza.
“Nat, tunggu.” Reza menahan pergelangan tangan Nata.
“Semakin kamu ingin berdamai, semakin sulit untuk kamu damai Nata.” Ucap Reza.
Hubungan mereka berdua memang selalu seperti itu. Bertengkar dan bertengkar. Bukannya mereka berdua tidak ada rasa. Mereka saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Tetapi kenapa mereka selalu bertengkar? Kalau menurut Nata, mereka bertengkar karena ulah Reza yang selalu menomorsatukan organisasi dan organisasi. Sedangkan Nata? Entahlah, cewek itu juga tidak mengerti dia ada diurutan nomor berapa dalam kehidupan Reza.
“Aku cuma pengen kamu ada waktu buat aku, Za. Keberatan?” Tanya Nata dengan lantang.
“Kamu tahu Nat, kalo aku ikut organisasi. Jadi aku harus bagi waktu buat organisasi, sama buat kamu.”
“Maksud kamu, waktu real buat organisasi. Terus yang virtual buat aku, gitu?” Nata menaikkan satu alisnya.
Reza mengusap wajahnya kasar. “Gak gitu maksud aku, Nat.”
“Tapi kenyataannya gitu, Za.”
“Organisasi itu penting buat aku, Nat. Sedangkan kamu? Kamu juga penting buat aku.”
“Terserah kamu lah, Za.” Ucap Nata lirih.
“Kalo kamu capek sama aku yang gak jelas, kamu bilang. Jangan tiba-tiba pergi.” Sambungnya.
Reza menggeleng. “Nggak, Nat. Aku gak capek. Aku udah nyaman sama kamu, ngapain aku pergi?”
“Siapa tahu, kamu pengen nyari pacar baru.” Ucap Nata sembari meneteskan air matanya dengan tersenyum.
“Enggak, Nat. Kamu gak boleh mikir hal kayak gitu. Udah ya, jangan nangis.” Tangan Reza mengusap air mata Nata yang menetes.
“Sekarang, semuanya terserah kamu. Kalo emang kamu gak bisa luangin waktu buat aku, yaudah.” Ucap Nata.
“Kalo kamu mau Q-time sama aku, oke. Ayo, ikut aku sekarang!”
“Kemana?” Tanya Nata.
“Mau nemuin saudara aku, sekalian ngajakin kamu jalan.”
“—”
Karena tidak ada jawaban dari mulut Nata, Reza berbicara kembali. “Atau nanti aja, kita jalan ke alun-alun kota?” Tanyanya.
“Nanti aja. Sekarang aku jelek, kalo mau nemuin saudara kamu.”
“Yaudah nanti ya, sekarang masuk dulu.”
Nata mengangguk, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Terhitung sudah 3 jam, Reza tidak ada kabar. Katanya, cowok itu berjanji akan mengajak Nata pergi ke alun-alun kota. Tapi sampai jam segini, cowok itu bahkan tidak ada kabar sama sekali.
Di dalam kamar, Nata sudah menangis entah untuk yang keberapa kalinya air matanya menetes hanya karena ulah Reza. Dalam tangisnya, cewek itu juga merutuki Reza yang kebanyakan janji dan selalu diingkari.
“Kenapa kamu ingkarin janji kamu lagi, Za?” Ucap Nata disela tangisnya.
“Kamu gak capek, nyakitin aku terus?”
“Aku benar-benar udah gak tahan kalo sikap kamu seperti ini terus, Za. Aku capek.” Karena terlalu lama menangis, Nata akhirnya tertidur sembari memegang ponsel miliknya yang menampilkan foto Reza.
Ketika Nata sudah terlelap dalam tidurnya, terdengar notif dari ponselnya yang berasal dari Reza. Cowok itu mengirim pesan dan menelfon Nata berkali-kali, tetapi tidak ada yang berhasil mengusik tidur Nata yang terlihat sangat nyenyak.
“Angkat dong Nat, please.”
Dalam hitungan telfon yang ketiga, rupanya Reza memilih menyerah. Dia menyudahi niatnya untuk menelfon Nata lagi, karena dia berpikir jika Nata pasti sudah tertidur mengingat hari sudah malam.
Reza menghela nafasnya berat. “Maaf, karena udah buat kamu kecewa lagi Nat.”
Keesokan harinya, Nata sengaja tidak berangkat ke kampus karena dia malas bertemu dengan Reza. Tetapi itu tidak sepenuhnya benar, alasan Nata tidak berangkat juga karena kepalanya yang terasa pusing. Mungkin dia pusing karena terlalu memikirkan hubungannya dengan Reza yang terasa diambang kata perpisahan.
Di kelas, Reza sudah berkali-kali menelfon dan mengirimkan pesan kepada Nata, tapi tidak ada satupun yang terbalas.
Sedangkan di rumah? Nata baru saja bangun dari tidurnya dan melihat banyak notif pesan dan telfon dari Reza. Awalnya dia tidak berniat membalas pesan dari kekasihnya itu, tetapi jika dipikir-pikir kasihan juga. Akhirnya dengan perasaan kesalnya, Nata membalas pesan Reza dan memberitahu jika dirinya sedang sakit.
Setelah berhasil terkirim, Reza langsung membaca balasan pesan dari Nata. Seketika, cowok itu dibuat kebingungan karena Nata bilang jika sedang sakit.
Lantas, cowok itu menanyakan apakah Nata sudah makan atau belum. Dan jawabannya adalah belum, karena Nata merupakan tipe cewek yang susah makan jika tidak ada yang memerintahnya untuk makan.
Tanpa pikir panjang, Reza segera pergi meninggalkan kelas untuk membelikan makanan untuk Nata. Lagipula dosennya tidak jadi datang, oleh karena itu Reza bergegas pergi keluar kelas tanpa menghiraukan teriakan dari temannya.
Sampai di depan rumah Nata, Reza mengirim pesan kepada cewek itu untuk menyuruhnya keluar dari rumah guna menemuinya dan mengambil sekantong makanan yang telah dia beli.
Setelah pesan berhasil terkirim, dia hanya memerlukan waktu 10 menit untuk menunggu dan terlihat Nata yang datang dengan wajah pucatnya karena belum makan dari kemarin.
“Ya Allah Nat, kamu sampe pucet kayak gini. Kenapa sih, harus skip makan? ‘Kan aku jadi khawatir kalo kamu kayak gini.”
“Ini lagi, matanya sembab banget. Udah, gak usah nangis ya! Kalo kamu marah sama aku, kamu bilang. Mau mukul juga gapapa.”
“Aku minta maaf kalo kemarin pulangnya kemaleman, jadi gagal ngajakin kamu jalan.”
Nata tidak berniat membalas ucapan Reza, dia hanya cemberut yang mengakibatkan pipinya terlihat semakin chubby.
“Yaudah nih, kamu makan. Dihabisin! Gak kasihan sama pipi kamu ini kalo gak makan?” Tanya Reza sembari mencubit pipi kekasihnya.
Nata hanya mengangguk, karena dia sedang berusaha untuk tidak tertawa. Kenapa? Karena dia tidak sengaja melihat mata Reza yang kelihatan seperti habis menangis. Terlihat dari sklera matanya yang berwarna sedikit kemerahan.
“Kalo gitu, aku pulang dulu. Kamu istirahat yang cukup, biar cepet pulih. Jangan lupa minum obat!”
Lagi dan lagi, Nata hanya mengangguk. Sebenarnya dia sangat merindukan Reza nya. Namun sebagai seorang cewek, dia juga menjunjung rasa gengsi yang dia miliki.
Karena Reza sudah kembali pulang, Nata segera masuk ke dalam rumah dan memakan makanan dari Reza. Tidak lupa, dia juga meminum obat supaya cepat sembuh.
Hari-hari berikutnya, hubungan antara Nata dan Reza semakin membaik. Namun entah kenapa, Nata merasa jika Reza bersikap tidak seperti biasanya. Semenjak terjadi pertengkaran kemarin, dia merasa jika ada jarak diantara dirinya dan juga Reza. Yang dulunya Reza selalu mengirim pesan di setiap detiknya. Kini, cowok itu seakan mengirim pesan saat sebutuhnya saja. Yang dulunya selalu menelfon setiap malam, kini cowok itu bahkan tidak pernah menelfon sama sekali. Hal itu membuat Nata menjadi dongkol dan kesal kepada Reza. Pikirannya sudah menebak jika cowok itu pasti sibuk dengan organisasinya.
Siang ini, Reza mengirim pesan jika nanti malam akan mengajak Nata untuk mengerjakan tugas bersama. Mau tidak mau, Nata mengiyakan ajakan Reza karena sebenarnya dia sangat ingin bertemu dengan cowok itu.
Namun saat malam sudah tiba, Reza tiba-tiba memberi tahu bahwa dia sedang tidak enak badan dan menjanjikan jika mengerjakan tugasnya besok saja.
Sebagai seorang cewek, Nata benar-benar lelah dengan tingkah Reza yang bersikap seenaknya. Karena apa? Karena jika seperti ini saja Reza bisa membatalkan rencana untuk pergi bersamanya, tetapi saat ada rencana dengan oraganisasinya? Cowok itu akan tetap pergi meskipun sedang tidak enak badan sekalipun. Dengan perasaan kesal, Nata membalas pesan Reza dengan ogah-ogahan.
Mungkin karena jawaban pesan Nata memang terlalu menunjukkan jika dia lelah, Reza merasa bahwa ada yang tidak beres dengan kekasihnya. Dengan keadaan yang tidak begitu sehat, Reza nekat pergi menghampiri Nata ke rumahnya untuk memastikan keadaan cewek itu.
Sesampainya di rumah Nata, cowok itu memaksa Nata untuk menemuinya di luar. Alhasil, Nata segera keluar untuk menemui Reza meskipun dengan terpaksa.
“Nat..”
Nata hanya menaikkan sebelah alisnya.
“Selama ini, kamu capek nggak sama aku? Tolong jawab jujur.” Tanya Reza.
“Dulu enggak. Tapi gak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku capek banget.”
“Terus mau kamu gimana? Kamu bilang, biar aku bisa berubah buat kamu. Aku takut ngedepanin ego terus soalnya.”
“Aku gak tahu, Za. Aku juga bingung sama diri aku sendiri. Aku tuh selalu merasa dibelakangin sama kamu, kamu gak pernah memprioritaskan aku.” Tanpa sadar, Nata telah mengucapkan unek-unek yang selama ini dia rasakan.
“Jadi kamu pengen aku prioritaskan, gitu? Tapi prioritas aku juga ke organisasi, Nat.” Ujar Reza.
“Maaf, kalo selama ini aku selalu nyakitin kamu.” Lanjutnya.
“Gak usah minta maaf, kalo nanti diulangi lagi.”
“Maaf ku bukan berarti aku gak mengulangi kesalahanku, Nat. Tapi selama perbuatanku di organisasi, aku gak mau dibuat salah. Karena organisasi itu adalah rumah pulangku. Sedangkan kamu? Kamu calon masa depanku yang ingin aku perjuangkan disana bareng.”
“Terserah, Za. Aku capek, pengen nyerah.” Ucap Nata lirih.
“Aku juga lelah, Nat. Tapi rasa ku gak pengen nyerah, aku pengen tetap pertahanin kamu.” Jawab Reza.
“Kalo kamu bilang rasa, aku juga gak pengen nyerah. Tapi raga aku pengen nyerah, Za. Ragaku udah capek sama sikap kamu yang terus-terusan sibuk sama organisasi.”
Reza menghela nafasnya panjang. “Kalo itu emang keputusan kamu, aku terima. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu.”
“Semoga bahagia ya, Nat. Semoga kamu segera ketemu sama pengganti ku yang sesuai dengan cowok impian kamu.” Reza hendak melangkahkan kakinya untuk menjauh, tetapi terhenti karena ditahan oleh Nata.
“Za..”
Reza menoleh.
“Kamu yakin, mau mengakhiri hubungan ini?” Tanya Nata.
Reza mengangguk.
“Kamu gak kasihan sama aku?”
“Aku lebih kasihan kalo kamu terus tersakiti karena aku, Nat. Maaf, kalo aku sering buat kamu kecewa.”
Nata menggeleng cepat. “Nggak, Za. Sekecewa apapun aku sama kamu, rasa itu akan kalah sama rasa sayang yang ku punya.”
Mendengar penuturan Nata yang terdengar tulus, Reza kembali mendekat kearah Nata dan memegang kedua tangan cewek itu.
“Ya Allah, Nat. Sesayang ini kamu sama aku. Aku bener-bener merasa bersalah banget ke kamu. Maafin aku, ya?”
Nata mengangguk pelan, lalu menabrak badan Reza dan memeluk cowok itu dengan erat.
Reza membalas pelukan Nata tidak kalah erat. Jika disuruh jujur, cowok itu juga sangat merindukan Nata. Dia ingin Nata nya kembali ceria seperti saat pertama kali mengenalnya, bukan Nata yang sedih seperti ini.
“Makasih udah sayang ke aku, Nat. Aku juga sayang banget sama kamu. Maaf, kalo aku terus-terusan nyakitin kamu. Tapi aku janji, aku akan berusaha buat luangin waktu sama kamu.” Ucap Reza dengan mengusap pucuk kepala kekasihnya.
Sedangkan Nata? Cewek itu mengembangkan senyumnya dan semakin mengeratkan pelukannya. Cewek itu merasa nyaman ketika berada didekat Reza. Dia tidak ingin meminta hal mewah apapun, karena dengan cara seperti ini saja dia sudah merasa bahagia, asalkan bersama Reza nya.
Dengan disaksikan cahaya rembulan dan berjuta bintang, mereka berdua memutuskan untuk bertahan demi rasa yang mereka punya. Mereka berjanji jika akan tetap memilih untuk bersama. Karena di usia yang mereka miliki, hubungan bukanlah tentang permainan rasa. Tetapi tentang siapa yang dapat bertahan hingga Tuhan memutuskan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama selamanya.