“Jika saja kita tak pernah jatuh cinta kita tak akan pernah merasakan sakit yang saat ini kita rasakan”

 

Sejak pertama, aku sudah pernah bilang bahwa hubungan ini tak akan pernah berhasil, namun kamu selalu memaksakan untuk terus bersamaku, hingga akhirnya aku menyerah dengan prinsipku bahwa rasa yang kita punya lebih baik jika kita pendam saja. 

Aku ingat persis bagaimana kamu berucap berkali-kali saat itu hingga aku luluh dan memutuskan untuk menjalin hubungan yang harapannya sangat kecil sekali untuk dapat dilanjutkan hingga menua. 

Aku memang sangat menyayangimu, begitupun denganmu yang lebih dari aku, saat itu kita dapat bersama, aku tidak begitu paham ini sebuah kesalahan atau bukan jika masih kita lanjutkan. 

Waktu terus berjalan, hari demi bulan, bulan demi tahun terus berlalu hingga tepat bulan ke enam kita menjalin hubungan yang aku ceritakan pada ibuku. 

“Dia sangat tampan, tidak banyak bicara, selalu mengalah, dan selalu meng iya kan segala ucapanku. Dia pria yang baik bu, aku sangat menyayanginya, dia juga seperti ayah, jika aku salah dia selalu memaafkan dan menasihatiku agar menjadi sosok yang lebih baik lagi” Ucapku pada ibu waktu itu. 

Namun aku tak pernah bilang bahwa keyakinan kita berbeda, sebab aku ingin hubungan ini terus berjalan, dan aku, tak ingin jauh darimu. 

Selang beberapa hari ibu selalu menanyakan bagaimana hubungan kita, aku selalu memberi jawaban bahwa hubungan kita baik-baik saja, tanpa ia sadari bahwa putrinya sedang menyembunyikan hal yang besar. 

Pagi, aku terbangun dari tidurku dan memutuskan untuk keluar dari kamar, meminum segelas air putih dan duduk di ruang keluarga, berbincang banyak dengan ibu sampai aku mendengar kata yang terucap dari mulut ibu; “Nak kalau kamu suka sama dia perjuangkan. Ibu setuju kalau dia orang nya baik dan sabar, semoga saja kalian berjodoh”.

Dalam hati aku berkata “apakah ibu setuju jika tahu dia dan aku beda keyakinan?” tapi aku terus berusaha menyembunyikan itu, tmelanjutkan hubungan seolah-olah tak ada yang disembunyikan. 

Hampir setiap hari kita bertemu, pertemuan itu yang membuat kita semakin enggan untuk berpisah. Hingga saat kita sedang makan, akupun memberanikan diri untuk bertanya;

“kak kira-kira kalo misalnya kita jodoh nih ya, kakak mau ga pindah agama ikut aku jadi mualaf gitu” Ucapku sambil sedikit tersenyum, dengan cepat juga ia menjawab 

“kalo aku mau aja ikut kamu tapi aku juga harus izin orang tuaku, kalau boleh aku ikut kamu kalau ga boleh ya kita jalanin aja agama masing-masing” Itu yang aku dengar saat itu sehingga membuat nafsu makan ku menurun. 

kita satu kampus beda jurusan juga beda angkatan, dia anak peternakan satu tahun lebih tua dari pada aku,  ia bernama Radit . 

jelang setelah kejadian itu aku jarang ketemu dengan dia, karena aku selalu memikirkan jawaban dia dan aku selalu memikirkan bagaimana nanti orang tuaku. Seiring berjalannya waktu saat aku sedang berbincang dengan ibu seperti biasa, ibu selalu menanyakan bagaimana hubungan kita, saat itu juga aku berani berkata sejujurnya dan berani mengambil resiko bagaimana hubungan ku dan dia untuk kedepannya. 

“Bu, aku ingin bercerita, aku dan dia beda agama bu, apakah ibu mau jika suatu saat kita berjodoh, dan kita menjalankan agama masing-masing?” seketika itu juga ibu sedikit bingung dan diam tidak segera menjawabnya. 

“Kalau dia mau ikut kamu lanjutkan, kalau tidak tinggalkan” Jawaban ibu setelah diam beberapa menit. 

Beberapa hari kemudian aku syok karena ayahku tahu hubungan ku, aku yakin ayah akan marah besar jika tau ini semua. 

Saat aku sedang bersantai di kamar kos, tiba-tiba ponsel ku berbunyi, telfon dari ayah, segera aku menjawab telpon itu 

“assalamualaikum” awalanku memulai percakapan dari pengangkatan teleponnya

 “waalaikumsalam” Jawab ayah dari kejauhan. 

“desy, ayah bilang sekali ini aja, kalau kamu ingin nurut kamu tinggalin temen cowok kamu itu, ayah tidak suka dan ayah tidak mau anak ayah menikah dengan pria yang beda keyakinan dengan kita. Tapi kalau desy ngga mau mending desy gausah kuliah lagi” ucap ayah dengan nada yang sedikit tegas. 

bersamaan dengan malam itu, aku meminta putus pada kak Radit, aku memberikan alasan bahwa ayahku tidak setuju dengan hubungan ini, tetapi dia tak mau, dia akan berusaha mengambil hati orang tuaku dia juga tidak mau berhenti sampai disini, dia akan terus memperjuangkan hubungan ini. 

Namun Tuhan berkata lain, sehingga kita memang benar-benar putus, namun kita tetap menjadi teman, hanya saja kita membatasi diri untuk tidak banyak berinteraksi agar kita lebih terbiasa dulu dengan keadaan masing-masing. 

Jika saja kita tak pernah jatuh cinta kita tak akan merasakan sakit yang saat ini kita rasakan.

Begitulah akhirnya hubungan ku dengan dia, sangat menyidihkan, jika harus berpisah dan berpura-pura tetap tegar didepan orang banyak, namun aku juga tidak mungkin egois, aku harus tetap nurut apa kata orang tua, karena memang aku salah. 

penulis: Desy Widiawati