Blog
BUTUH
- Januari 5, 2022
- Posted by: admin
- Category: Cerpen
Larik senja yang akan mengawali kisah kali ini. Dia jatuh, menimpa lembut dedaunan pohon, gedung-gedung berlantai tinggi, hingga helai-helai hitam rambut seorang laki-laki. Di antara banyak suara langkah kaki berlalu lalang dan banyak tawa serta percakaan mengudara di jalan taman kota , laki-laki itu duduk bak hilang jiwa. Sambil menatap kosong daun coklat yang terlepas dari tangkainya, laki-laki itu tidak menghiraukan muka penasaran orang sekitarnya.
“Orang itu melamun di sana sudah dari tadi. Aneh,” bisik salah seorang pengunjung taman pada temannya.
Sudah empat jam berlalu, tapi laki-laki itu masih duduk diam di bangku taman. Entah seberapa kuat bokongnya hingga bertahan empat jam bagai patung di sana. Bahkan ketika jingga hilang dari langit, tergantikan gelap, dia masih di sana. Lampu jalan dinyalakan, beberapa pasangan muda-mudi lewat sambil bermesraan, dia melirik sebentar. Namun, hanya sedetik, dia kembali menatap kosong dedaunan pohon.
Hingga hujan tiba-tiba datang, laki-laki itu akhirnya beranjak.Rintik hujan masih lembut, belum bisa membuat setelan kemeja hitamnya basah kuyup. Langkahnya gontai, tubuhnya seakan mau ambruk ketika dia menapakkan kaki. Raut mukanya datar. Matanya masih awas dengan jalan meski tampak begitu kosong, atau mungkin lebih tepatnya tampak hampa.
“Hujan, tidak bisakah hari ini kau jadi deras? Sekalian stok air hujan buat besok tumpahkan sekarang.”
Laki-laki itu lantas tertawa kecut. Dia baru saja teringat kalimat yang sering dia dengar. Dia mengusap muka, menghembuskan napas panjang. Laki-laki itu tidak suka hujan, tapi untuk pertama kalinya dia berharap bahwa hujan kali ini akan deras dan berlangsung lama. Setidaknya dengan itu, dia tidak perlu menyembunyikan air mata. Dengan hujan, bulir bening itu jadi beecapur dengan air hujan.
Langkahnya kemudian terhenti di sebuah toko bunga. Bertembok biru dengan lampunya yang sudah padam, tulisan closed terpampang jelas di jendela. Dia melihat ke dalam toko, menelisik beberapa buket bunga yang masih terpajang cantik.
“Maaf, kami sudah tutup,” ucap sang pemilik toko, dia baru saja mengunci pintu.
“Besok buka?”
“Ah iya, kami buka setiap hari pukul 8.”
Laki-laki itu memandang sebentar ke dalam toko lagi, lantas pergi tanpa berucap apa pun. Alis pemilik toko berkerut, perempuan dua puluh tahun itu menatap penuh tanda tanya punggung laki-laki tadi hingga hilang di pertigaan jalan.
“Orang aneh.”
***
Laki-laki itu berdecak kesal. Dia meneguk alkoholnya, itu tegukan terakhir sebelum botolnya kosong. Raut mukanya masih belum berubah. Masih sama, tatapannya tampak hampa.
“Kau menyebalkan, Rin.” Laki-laki itu kemudian bersila di hadapan Rin-nya yang hanya terdiam. Buket bunga dari toko yang barusan dia beli tergeletak di sampingnya.
Awan yang mendung sejak tadi tiba-tiba menjatuhkan tetes pertamanya, tepat di ujung hidung laki-laki itu. Dia mendongak, tersenyum sinis.
“Sampai sekarang, kau bahkan tidak bisa benar-benar pergi dariku. Mana bisa aku dapat gantinya kalau kau seperti ini.”
Hujan bertambah deras. Pucuk-pucuk pohon perlahan mulai genap seluruhnya terkena air hujan. Laki-laki itu masih di sana, tidak beranjak lagi. Seperti di taman dulu, bokongnya tahan duduk berlama-lama. Dia berceloteh sendiri, lebih banyak berkeluh-kesah. Rin-nya hanya diam (mendengarkan).
Ini sudah kesekian kalinya dia datang menjumpai Rin. Laki-laki yang biasa dipangil Gun itu datang membawa sebuket bunga. Kadang malah membawa sebotol alkohol juga ,seperti yang sekarang dia bawa. Sambil menyisir rambutnya kasal, dia ber-cih memaki dirinya sendiri. Dadanya sesak, air matanya ingin buncah lagi.
Sekali lagi dalam hatinya dia memohon agar hujan deras ini jadi lebih lama. Seperti yang biasa Rin ucapkan ketika awan mendung tiba.
“Cepatlah hujan, hujan yang deras dan lama. Biar aku bisa menangis sepuasnya.”
Kalimat itu terngiang di kepala Gun. Perempuan delapan belas tahun dengan rambut bergelombang bagai ombak, mata bulat coklat pekat, serta senyumnya yang selalu seperti menyebunyikan banyak getir hidup, terlukis jelas di bayangan Gun. Dia seolah melihat perempuannya itu bermain di bawah derai hujan, menyamarkan air mata setelah seharian tersiksa di rumahnya sendiri.
Tiba-tiba, rintik hujan berhenti menjatuhinya. Gun mendongak, sebuah payung meneduhinya.
“Kau selalu membiarkan dirimu kehujanan.”
Gun terdiam sebentar. “Dan kau selalu saja merepotkan diri sendiri untuk datang ke sini, Sar. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”
Sarah menghela napas, laki-laki di hadapannya itu memang keras kepala. Jika diingat, pertemuan pertama mereka dulu, kesan Sarah terhadap Gun buruk. Sarah menganggap Gun adalah orang aneh. Berdiri diam menatap toko bunganya, bertanya apa besok buka, lantas setelah dijawab pergi tanpa kata. Bahkan sebenarnya sampai sekarang, Sarah menganggap Gun adalah laki-laki aneh yang jarang sekali berekspresi. Setelah kejadian malam itu, Gun jadi selalu datang ke toko bunga milik Sarah pukul 8 tepat. Dia membeli sebuket bunga mawar berpita biru. Selalu buket bunga itu yang dia beli.
Sarah melirik botol minuman keras di samping Gun. “Kau minum lagi?”
Gun tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya.
“Berhentilah seperti ini ,Gun. Kau menyiksa dirimu sendiri.”
Gun sekali lagi tidak menjawab. Dia terdiam.
Sejak Gun punya jadwal rutin ke toko bunga pukul 8 tepat, sejak itu pula Sarah dan Gun jadi lebih mengenal satu sama lain. Meski jarang berbicara pada orang lain, setidaknya dengan Sarah, dia sedikit lebih terbuka. 3 tahun mengenal satu sama lain, Sarah mulai mengerti alasan buket bunga berpita biru itu, juga tahu siapa Rin yang Gun selalu kenang.
“Dia menyukai buket bunga dengan pita biru,” kata Gun dulu saat ditanya kenapa selalu buket bunga itu-itu saja. Saat mengatakannya dia tersenyum tipis. Itu kali pertama Sarah melihat senyum Gun.
Hujan masih turun deras. Mereka bedua terdiam selama lima menit tanpa percakapan. Selalu seperti ini, butuh waktu setiap kali Gun datang ke sini. Membiarkannya menangis lirih, Sarah menunggu. Dengan begitu sabar, Sarah “menunggu” Gun.
***
Tiga tahun kembali terlewat, Gun masih sama. Dia datang ke toko bunga Sarah. Namun, kali ini dengan setelan kemeja hitam yang sama seperti yang dia pakai enam tahun lalu. Dengan perasaan hampa yang sama, dengan kesedihan yang sama, dia berdiri di depan toko bunga itu sembari menatap kosong.
Payung yang biasa digunakan Sarah digenggam Gun dengan erat, seolah mungkin akan hilang jika dia mengendurkan tangannya sedikit. Dadanya sekarang kembali terasa sesak, malah lebih sesak ketimbang enam tahun lalu saat Rin meninggalkannya.
“Aku tidak masalah menunggumu berapa tahun pun, Gun. Aku tahu betapa sulitnya bagimu melupakan sosok Rin dalam hatimu. Petemuan pertama kita sangat buruk, aku bahkan menilaimu orang yang aneh. Semakin aku mengenalmu, aku jadi semakin tahu alasan tentang hilangnya banyak ekspresi dalam wajahmu. Cinta pertamamu telah pergi, membawa separuh jiwa– ah bukan, lebih tepatnya seluruh jiwamu. Aku tidak masalah menunggu berapa tahun pun, tapi takdir berkata lain. Hidupku tidak sepanjang itu hingga bisa disuruh menunggu. Aku mencintaimu, dan aku harap kau akan segera menemukan seseorang yang bisa memasuki hatimu yang kosong. Karena sampai akhir pun, aku tidak bisa melakukannya hal itu.”
Gun menggigit bibirnya, hatinya berasa dihujam parang. Hancur. Gemetar tangannya membaca pesan dari Sarah beberapa minggu lalu. Dia merutuki dirinya, bersumpah serapah, mencaci maki dirinya sendiri.
Lantas, di depan toko bunga Sarah yang kini tertutup rapat, Gun menangis, dia jatuh, berlutut. Membuat pasang mata segera mengarah padanya. Seperti enam tahun lalu, dia tidak peduli orang-orang menatapnya heran dan penuh tanya. Beberapa malah memandang aneh dirinya yang tengah berlutut di depan toko bunga.
Gun baru menyadarinya sekarang.
Kado Ke-132
Dua buah kotak terletak rapi di atas meja makan, terhias pita cantik berwarna merah muda. Gadis kecil itu mengucek-ucek matanya, dia berjalan lunglai ke ruang makan, menguap dan sesekali menyengol perabot rumah, nyawanya masih belum terkumpul sempurna. Si gadis kecil itu berhenti, menatap meja makan. Dia terdiam sebentar, menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun kecuali pembantunya, Bu Midah.
Dia memandangi dua buah kotak hadiah berpita merah muda itu. Bola mata cokelatnya itu melebar. Tangan kecilnya meraih dua kotak itu, membawanya kembali ke kamar. Dia menggeleng ketika Bu Midah menawari bantuan.
“Bial saya bawa sendili,” ucapnya yang belum bisa melafalkan huruf r dengan benar. Gadis kecil itu tersenyum lebar, manis sekali. Siapa pun pasti akan gemas melihat senyum gadis yang hari ini genap berusia lima tahun itu.
Bu Midah tersenyum simpul, dia membiarkan anak tuannya itu membuka kadonya sendiri di kamar. Sudah jadi kebiasaan Arin untuk membawa setiap kado yang dia dapat dari kedua orang tuannya ke kamar dulu. Di sana, ada sebuah rak khusus, dia meminta dibelikan dua tahun lalu.
“Aku ingin pajang semua hadiah dali Bunda dan Ayah!” katanya dulu ketika menelepon Ayahnya.
Arin bisa mendengar suara tawa Ayahnya dari balik telepon. Dia menggelembungkan pipinya karena tidak suka ditertawakan. Tanpa perlu diberitahu dua kali, ayahnya langsung mengirim sebuah rak. Bundanya yang memilihkan, katanya rak itu berkualitas tinggi, punya desain terbaik dan dari bahan paling kuat.
“Untuk putri kecilku, raknya harus yang terbaik,” kata bundanya dalam catatan yang ditinggalkan di meja makan. Bu Midah yang membacakannya, Arin yang barus saja bangun langsung terkekeh mendengarnya.
Di ulang tahun ke limanya ini, dia mendapat dua buah hadiah. Dia melepas pita merah muda di kotak pertama, membukanya perlahan. Hadiah itu dari ayahnya, sebuah kotak musik dari kayu dengan ukiran yang indah. Alunan lagunya menenangkan. Arin tersenyum, dia menikmati nada-nada lagu yang terputar.
Kotak hadiah kedua dari ibunya dengan pita merah muda yang sama. Di dalamnya berisi sebuah sepasang sepatu. Berwarna hitam dan putih, dengan hiasan bunga di atasnya. Dia coba memakainya, berjalan ke sana ke mari. Sepatu itu nyaman, ada bantalan empuk dan lembut di dalamnya. Arin menyukainya.
Dua hadiah dari orang tuannya itu segera diletakkan Arin di rak tempat hadiah lain disimpan. Arin meminta Bu Midah membantunya menuliskan tanggal hari ini, 20 Oktober 2007. Dengan tulisannya yang masih amburadul, dia memberi tanggal untuk setiap hadiah yang dia terima. 9 September 2007, 3 agustus 2007, dan seterusnya, hadiah-hadiah itu selalu tertulis tanggal kapan diterimanya.
***
Pukul lima sore di sisi lain dunia, 18 Oktober 2019.
Suara fantofel seorang pria menggema di sepanjang koridor. Sekretaris di sebelahnya sibuk menjelaskan agenda rapat hari ini. Rentetan jadwal memenuhi kertas yng sekretari itu bawa. Pria itu mengangguk, langkahnya semakin cepat menuju ruang kerjanya.
Begitu sampai, di sana berdiri seorang perempuan, itu istrinya. Dia sudah menunggu selama lima belas menit. Selama lima belas menit itu, jemarinya mengetuk-ngetuk bingkai jendela. Wajahnya bimbang. Perempuan itu membawa kabar tidak menyenangkan untuk suaminya.
“Sayang, orang itu meminta pertemuannya diadakan besok. Dia sangat keras kepala, besok atau tidak ada kontrak sama sekali.”
“Benarana tidak bisa?”
“Aku sudah menemuinya langsung, kali ini kita tidak bisa melakukan apa pun kecuali mengiyakan permintaanya.”
Pria itu menghela napas, wajahnya gusar. Dia menyisir rambutnya kasar. “Kita hubungi saja—” kalimatnya berhenti ketika nada pesan dari telepon genggamnya berbunyi, iti nada khusus. Hanya satu kontak saja yang memiliki nada pesan berbeda.
Jemarinya menekan notif pesan. Saat itu, matanya langsung melebar. Jantungnya serasa dipukul keras.
Di saat yang sama, istrinya juga mendapatkan sebuah pesan. Dari orang dan isi yang sama. Perempuan yang menikah pada umur 23 tahun itu langsung menutup mulutnya. Matanya berkaca-kaca.
***
Detik-detik menuju pukul dua belas malam. Gadis manis itu menatap jam antik di depannya. Dia memangku potongan kue tar red velvet, sedangkan sisanya disimpan di dalam kulkas. Sangat tidak mungkin baginya menghabiskannya kue besar itu sendirian.
Dia menghitung waktu mundur hingga hari ini berganti menjadi besok. Beberapa pesan dari telepon genggamnya tidak dia balas, atau bahkan sekedar membacanya. Beberapa sebenarnya hal yang penting, tapi sayang, dia sudah terburu dirudung rasa kecewa. Dia tahu, malam ini, untuk kesekian kalinya dia akan sendiri.
Dia diam, perlahan mengeluarkan korek yang tadi ada di sakunya. Kemudian dalam sekejap, kenangan masa lalunya datang bagai peluru, menembus hatinya, membuat luka. Dia lantas melirik rak yang telah lama ada di kamarnya, itu malah membuat beban di hatinya semakin berat. Sudah banyak sekali barang di pajang rapi di sana. Setiap bulan tidak pernah rak itu tidak mendapat penghuni baru. Jika dijumlahkan, selama dua belas tahun ini sudah terkumpul 131 barang dengan berbagai jenis.
23.59.47
Bulir bening kekuar dari ujung matanya. Dia terisak, suara tangisnya lirih. Dengan mendengarnya, siapa pun tahu betapa kesepiannya dia sekarang. Dia akui, tidak ada barang yang buruk yang dia terima, semuanya indah dan mewah. Ada rasa kasih sayang pada setiap barang tersebut.
Namun, yang dia butuhkan bukan kado baru lagi. Bukan kasih sayang yang dititipkan pada sebuah barang
23.59.50
Mendadak, suara langkah tergesa-gesa terdengar. Gadis remaja itu langsung beringsut, meletakkan potongan kue tarnya, lantas menghampiri sumber suara.
23.59.54
Tangannya gemetar memutar kenop pintu. Dia dengan takut mengintip dari sela daun pintu yang terbuka sedikit.
23.59.57
“Arin!”
Saat itu juga, rasa berat hatinya luruh seketika. Dia langsung membuka lebar pintu kamarnya, berhenti sejenak memandang dua orang di depannya, lantas langsung berlari menuju dua orang yang sedari lama dia tunggu.
“Ayah dan Bunda, pulang,”
“Ya, selamat datang,” jawab Arin dengan kebahagiaan yang tiada tara.
00.00.00
Jam berdenting, menunjukkan pukul dua belas malam, menandakan hari telah berganti. Saat itulah, dalam pelukan hangat kedua orang tuannya. Telinga Arin mendapatkan bisikan lembut. Kata yang selama ini ingin dia dengar dari mulut kedua orang tuannya secara langsung.
“Selamat ulang tahun, Arin. Selamat bertambah umur. Semoga kamu jadi anak yang selalu mendapat kebahagiaan. Maafkan kami ya membuatmu sering kesepian. Maaf kan kami yang jarang bersamamu.”
Setelah sekian lama, di denting keduabelas, bersama lilin kue ulang tahunnya, dia meniupnya bersama kedua orangtuanya.
***
Sebelumnya, di sisi belahan dunia, sebelum hari ulang tahun Arin.
18 Oktober 2019. From: Arin
Aku tidak meminta sebuah kado lagi di ulang tahunku kali ini. Tidak perlu perangkat lunak tercanggih, sebuah kalung berhias permata, liburan ke pulau eksotis, atau apa pun. Aku tidak menginginkannya.
Setiap tahun terlewat dan selama itu aku sering memandang pilu kursi meja makan yang kosong, kamar kalian yang selalu rapi karena jarang sekali dipakai. Aku sedikit iri dengan teman-temanku yang setiap hari bisa melihat ibunya tiap pulang sekolah atau bersama ayahnya ketika berangkat sekolah.
Aku sudah kehilangan banyak momen yang seharusnya bersama kalian. Dan selama ini, aku berusaha untuk tidak mempermasalahkannya karena Ayah dan Bunda di sana sedang bekerja keras juga. Tapi, makin lama aku mulai takut. Aku benar-benar takut.
Bagaimana jika aku mulai terbiasa tanpa kehadiran kalian?
Jadi, kumohon. Apa Ayah dan Bunda tidak bisa pulang besok lusa? Sebentar saja tidak apa, aku ingin merayakan ulang tahunku yang ke tujuh belas bersama kalian.
Begitu membacannya. Ayah Arin dan bundanya langsung bergegas pergi. Mereka tidak peduli lagi dengan rapat besar besok atau tentang kontrak bisnis yang sangat penting itu. Sekretaris yang menjelaskan mengenai jadwal rapat tadi langsung kalang kabut mengejar.
“Batalkan saja semua rapat! Bahkan dengan tuan besar China yang keras kepala itu. Putri kami jauh lebih penting!”