Blog
APAKAH INI TAKDIR
- Oktober 4, 2022
- Posted by: admin
- Category: Cerpen
“Jika hidupku memang ditakdirkan seperti ini, tolong bantu aku untuk bertahan.”
Di suatu rumah, ada seorang anak perempuan yang tengah merenungi nasib didalam kamarnya. Setelah pulang dari rumah sakit beberapa menit yang lalu, anak perempuan itu terlihat sedang berpikir. Dipikirannya terngiang tentang percakapan antara ibunya dengan seorang dokter. Dia tidak sengaja mendengar, jika dokter mengatakan bahwa dia terkena sakit mental.
“Kenapa nasib hidupku seperti ini? Aku ingin merasakan alur hidup seperti anak lainnya yang hanya merasakan sakit fisik, bukan mental.” Monolognya.
“Sudah nak, kamu gak boleh banyak pikiran.” Sahut sang ibu yang tiba-tiba masuk kedalam kamarnya.
“Sebenarnya aku udah gak kuat bu, aku udah muak dengan semua ini.”
Salah satu alasan anak itu bertahan hidup adalah karena ibunya. Dia bertahan karena dia takut jika ibunya semakin tidak diperlakukan layaknya manusia oleh keluarga ayahnya. Ralat! Bukan hanya keluarga ayahnya, tetapi ayahnya juga ikut serta untuk menganiaya ibunya.
“Bu, ibu harus janji sama aku. Kalau ibu bakalan ngelawan waktu ibu disakiti sama mereka.”
“Ibu gak bisa janji nak.”
“Kalau ibu gak bisa, biar aku yang maju ngelawan mereka!” Ucap anak perempuan itu penuh keyakinan.
“Udah, kamu gak perlu mikirin ibu. Kamu harus mikirin kesehatan kamu. Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama ibu.” Nasehat sang ibu.
Anak perempuan itu menggeleng. “Aku gamau nambahin beban pikiran ibu.”
“Hey, jangan ngomong gitu. Justru kalau kamu tahan sendirian, nanti mental kamu yang kena.”
“Tapi, mental aku ‘kan emang bermasalah bu. Ibu lupa, kalau aku sering teriak-teriak ketakutan?” Mata anak perempuan itu mulai berkaca-kaca. Sepertinya, dipikirannya terlintas bayang-bayang ibunya yang disakiti oleh keluarga ayahnya. Dia masih ingat betul, bagaimana perlakuan keluarga ayahnya kepada ibunya.
Pernah waktu itu, dia baru saja pulang dari sekolah. Saat sampai di teras rumah, langkahnya harus terhenti ditengah pintu utama karena matanya tidak sengaja melihat ibunya yang sedang dipukuli oleh tantenya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kejadian itu. Tanpa berpikir panjang, dia langsung berlari masuk dan menghampiri ibunya yang terduduk lemas diatas lantai.
“Jangan berpikiran seperti itu nak, kamu bukan sakit mental. Kamu seperti itu karena kamu lagi capek, jadi kamu gak sengaja teriak.”
“Ibu gak perlu bohongin aku, aku udah denger pembicaraan ibu sama dokter.” Air mata anak perempuan itu akhirnya menetes, dan mengundang tangan kanan ibunya untuk mengusap punggungnya dengan sayang.
“Bu, kenapa takdirku seperti ini?” Tanya anak perempuan itu dengan sesegukan.
Sang ibu diam, sembari memperhatikan wajah anaknya yang jauh dari kata baik-baik saja.
“Jawab aku, bu!”
Karena tidak tega, sang ibu ikut meneteskan air matanya. Dia benar-benar sudah tidak sanggup lagi jika harus menahan air mata ini untuk tidak terjatuh.
“Kamu yang sabar, Tuhan memberi cobaan kepada hamba-Nya karena dia tahu bahwa kita bisa melewati ini semua.”
“Tapi Tuhan gak adil sama aku, bu! Disaat anak lain yang seusia aku sedang bahagia, sedangkan aku? Aku tersiksa bu, sakiitt…” Anak perempuan itu berbicara dengan lirih, karena dia lelah dengan yang telah dirasakannya.
“Kamu gak boleh ngomong gitu. Tuhan itu adil. Tuhan tidak akan pernah membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya.”
“Tapi kenapa nasibku seperti ini bu? Apakah ini semua udah takdir? Apa hidupku akan terus seperti ini sampai akhir nanti?”
Mendengar pertanyaan anaknya yang tiada henti, sang ibu dibuat terdiam. Jujur, dia tidak tahu harus menjawab pertanyaan anaknya dengan kata yang seperti apa. Dia juga bingung, apakah ini memang takdir? Atau hanya sebuah kerikil kecil yang tidak sengaja melintas?
“Maafkan ibu, nak. Karena ibu, kamu jadi sakit seperti ini.” Ucap sang ibu dalam hati. Beliau sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Beliau juga sepemikiran dengan anaknya. Kenapa bisa keluarga suaminya begitu kejam terhadap dirinya? Apakah dia mempunyai kesalahan fatal yang tidak mampu dimaafkan, sampai-sampai mereka menghakiminya dengan semena-mena?
“Untuk takdir, tolong berubahlah. Jikalau kau tidak bisa merubah nasibku, tolong ubah saja nasib anakku.” Doa sang ibu yang selalu dipanjatkan sepanjang hari. Ia selalu berharap bahwa takdirnya berubah. Ia tidak mau jika anaknya terus-terusan sakit karena dirinya.
Silvana.